Takkan pernah berhenti
untuk selalu percaya, walau harus menunggu seribu tahun lamanya, biarkanlah
terjadi wajar apa adanya walau harus menunggu seribu tahun lamanya, selama
apapun itu. Aku kan setia menunggu.
Aku
mendengar lagu itu, lagu dari salah satu band terbaik di Jogjakarta, Jikustik…
ini bukan masalah band-nya tapi masalah lirik lagu yang sedikit menyinggung
hatiku, entah ini yang keberapa kali aku memutar lagu ini, menggambarkan
kekasih, kekasihku yang di sana. Dua tahun yang lalu aku mendengar lagu ini,
dua tahun pula aku menjalani tali kasih dengannya, setidaknya lagu ini
membangkitkan kenangan saat manis-manisnya membangun cintaku dengannya.
Bagaimana aku meyakinkan dirinya untuk menjadi kekasihku, meyakinkan diriku
juga untuk menjadikan kekasihnya kala jarak yang terbentang memisahkan kita.
Setidaknya lagu ini selalu membuka ingatan seperti kaset yang melesat
memutarkan lantunan lagu, seperti itulah aku melesat mengingat saat awal aku
mengenalnya. Ah, ketidak sengajaan itu yang membuatnya aku jatuh cinta
dengannya.
***
Sudah
seminggu aku tak memberikan satu pesan singkat untuknya, sekedar meleponpun aku
enggan. Bukan aku sudah tidak mencintainya lagi, melainkan aku tak ingin rindu
ini menjadikan dia beban dan beban bagiku juga, aku masih sangat mencintainya.
Aku tahu, dia pasti menunggu kabarku dan mengkhawatirkan keadaanku di sini. Aku
yang bodoh selalu acuh tak acuh dengannya. Tapi, dia sudah tahu sikapku seperti
apa yang selalu membiarkannya begitu saja, dan tidak seperti dia yang selalu
menceritakan kesehariannya padaku melalui surat elektronik yang dia kirimkan
setiap minggunya entah itu tentang perkuliahannya, film yang sudah ditontonya,
dan banyak hal aneh yang sering dia dapatkan akupun hanya membaca setengah dari
surat yang dia beri.
Pernah
kita bertengkar, saat dia mulai jenuh dengan sikap cuekku. Tapi, aku tahu kalau
dia sedang terbawa emosi kerinduannya. Saat aku mulai mengabarinya setelah
seminggu tak memberi kabar dengannya, percakapan yang masih sangat kuingat.
“Hi, sayang… Maaf yaa aku gak
ngabarin-ngabarin kamu, takutnya aku malah tambah kangen, mau ketemunya kan
susah” aku menelponya disela-sela kesibukanku
“Iya. kemana aja kamu. Aku nungguin
kabar malah kamu asik sama kerjaan aja terus, gak tau ya sama orang kangen”
Jawabnya dengan nada yang sedikit tinggi, sedikit membentakku.
“Aku kerja sayang, ngerti lah. Kan
aku sering ngtweet tentang kerjaan dan lain-lain, jadi gak mesti ngabarin ke
kamu juga, toh kamu udah tau kan lewat twitter. Oiya gimana aktifitas kuliah
kamu, tugas-tugas udah pada selesai? Sini aku bantuin deh, bantuin
nyusahin. Hehe” Balasku dengan suara
tanpa nada tinggi sepertinya, dan aku mencoba untuk sedikit menghiburnya.
“Hmmm. Sebenarnya kamu masih anggap
aku apa sih, ya aku juga maulah jadi prioritas utama kamu, ngabarinnya tuh di
sms bukan di twitter. Lagian aku kan jarang buka twitter apalagi kepoin kamu,
tugas udah selesai semua kok, gak perlu. Kamu ngabarin aja jarang malah niat
mau bantuin, gak sadar yaa” dengan nada yang sama; tinggi. Dan tambahan sedikit
menggerutu.
“Kalau kamu mau jadi prioritas ya
gak bisa. kamu tahukan, aku tadi udah bilang, aku kalau sms atau telpon kamu
setiap hari malah yang ada aku tambah kangen dan kamu juga, makanya aku suka
sibuk untuk mengalihkan rasa kangen ini ke kamu. Iyaaaa, tugas itu cuma pengen
basa-basi aja kok sama kamu, abis kamu galak banget jawabnya, relaks dong. Kita
ini lagi jauhan jangan berantem yaa.” Mungkin dengan penjelasan seperti ini aku
harap dia akan sedikit mengerti.
“Aku ini pacar kamu, masa enggak boleh
minta jadi prioritas kamu, sedikitpun dalam sehari. kamu ngabarin aja seminggu
sekali. Gimana aku bisa percaya. Dulu, kamu kan pernah bilang komunikasi itu
bisa meyakinkan pasangannya. iya kita ini jauhan dan kamu jangan selalu mencari
masalah biar aku gak marah-marah kayak sekarang” Gerutunya semakin
menjadi-jadi. Aku putuskan untuk sudahi saja percakapan ini, dan melanjutkan
dengan kesibukanku. Masih ada kesibukan yang sangat bermanfaat dibanding dengan
debat panjang yang aku rasa ini hanya buang-buang waktu dan melelahkan hati.
“Oke, aku usahain kamu jadi
prioritasku yaa. Kali ini skakmat deh, kalau kamu suka bilang aku yang
dulu-dulu, dulu aku baik banget ya. Sampe banyak nasehat yang sekarang aku
ingkarin dan nasehat itu kamu yang ingetin malah jadi senjata utama kamu. ya
udah aku mau lanjut kekerjaa, kamu jangan lupa makan yaa, kalau capek istirahat
aku enggak mau kamu sakit. Love you.” Ucapku dengan suara terburu-buru.
“Iya, kamu semangat yaa kerjanya,
jangan lupa makan sama istirahatnya” dengan nada sedikit tidak terima, karena
percakapan ini aku yang menyudahinya.
Percakapan
tadi, percakapan yang sudah tak terhitung lagi telah kubuat dengannya. Aku tau
dia sangat merindukanku. Tapi, caranya yang membuat dia semakin salah, menjawab
pertanyaan yang kuberi dengan nada yang tinggi, mempermasalahkan masalah yang
semula kecil menjadi gunung, bahkan gunung itu tiba-tiba meledak. Ini yang
kutakutkan dengannya, masalah itu menjadikan kita sebagai bom waktu. Menyimpan
satu persatu, kita saling diam lalu kita ledakan dengan satu kalimat yang
menyakitkan; Jenuh.
Aku
tak ingin hubungan yang sudah kubangun dengan susah payah, pengorbanan yang
tidak sedikit, merelakan dia sendiri hanya untuk menungguku di sini dan hanya
karena masalah sepele hubungan jarak jauh berakhir dengan sia-sia karena jenuh,
itu bukanlah solusi putus yang logis. Aku terdiam selama lima belas menit saat
mengingat kalimat jenuh. Satu-satunya obat yang bisa menyembuhkannya adalah
pertemuan. Maka, aku atur jadwal pertemuan dengannya, akhir bulan ini aku akan
menemuinya. Dan sengaja aku tak memberikan kabar kalau aku ingin ke kotanya,
ini surprise, ini hadiah untuknya yang selama ini mampu menungguku di sini.
*noted; ini cerpen pertama yang mimin bikin, enggak tau deh. bagus atau enggak. komentarnya yang pedes yaa. :D