Kau menyisakan tangis, pertengakaran
semalam.
Di antara kita. Kini, ku harus berdiri
ditepian hati bimbang tuk memilih.
Kau harus tahu, dalam hatiku bergetar waktu
ku tahu, kau terluka saat aku.
Buatmu menangis, buatmu bersedih. Inginku
memelukmu dan ucapkan maaf, maafkan aku. – Maaf (Jikustik)
Sayup-sayup
lagu itu terdengar dari playlist Mp3-ku ketika aku dalam perjalanan pulang
kerja. tak sengaja aku memutarnya, dan tiba-tiba teringat akan pertengakaran
semalam. Rasa bersalah itu terasa masih ada, masih terluka. Dan dia? Dia entah
apa yang dilakukannya setelah kita bertengkar semalam, hanya karena masalah
yang sama; Jenuh.
Padahal
jenuh bisa kita atasi bersama, dengan menelponnya berjam-jam. Tapi entah kenapa
semalam dia terlalu rindu dan berat untuknya untuk tidak mengeluh, mencoba tetap
menahannya malah membuatnya semakin emosi. Aku diam, malah dianggap tak peduli,
padahal aku sedang menunggu dia reda agar menjelaskannya kalau waktu kita
menelpon akan dihabiskan dengan sia-sia, pertengkaran.
"Ada apa lagi? Kau hanya datang padaku
saat kau butuh dan sepi kan? Sana" Kalimat pertama yang dia ucapkan
saat aku menelponnya
“Aku sebenarnya datang atas panggilan
rindumu, itu saja. Kau salah beranggapan” Aku mencoba menjawab setenang
mungkin agar keadaan baik-baik saja.
“Kau tahu apa itu rindu? Kau datang saat aku
sudah terlalu lelah. Bukan anggapanku yang salah kalau begitu”
“Kau membatasi diri dari rindumu, aku
terlalu sibuk, maaf jika batas kerinduanmu sudah habis, lalu aku telat hadir
untukmu. Masih ingin telponan dengankukan?”
“Kau ada di mana saat aku terdiam? Saat
kecewa dan senang dirasakan bersama seperti ini, aku sudah tak tahu lagi. Kau
senang aku mati rasa?”
“Kau mungkin sudah lelah dengan
kesibukkanku, bukankah pekerjaanku di sini untukmu juga? sadarkah kalau ini
demi dirimu? Mungkin kau merasa kecewa, akupun sama. tapi apa salahnya
menenangkan diri sejenak untuk mengerti. Sayang” Aku menahannya agar tak
memotong pembicaraanku.
“Bisa tenangkan sedikit apa yang kau
pikirkan tentang dari sisi ketidak pekaanku menjelma jadi rasa sabar untukmu? Biarkan
rindumu mengalir deras, tapi jangan biarkan kerinduanmu terasa hampa, aku ada
dan memikirkanmu di sini. Seakan kau selalu beranggapan kalau aku tidak pernah
peduli dengan rindumu, aku baik-baik saja di sini. mengenggam kita”
“Oke sebentar, begini. Apa yang membedakan
kau yang dulu dengan kau yang sekarang? Kau dulu bisa membagi waktumu dengan
baik. Sekarang? Jika aku di sini beserta rinduku malah justru membebanimu,
bagaimana jika aku tak ada? Apa semua akan lebih baik? Aku tahu, tapi tak hanya
mereka yang butuh kamu, aku juga butuh kamu. Aku ini kekasihmu kan? Aku juga
sudah sibuk dengan berdiam dan menahan apa yang sebenarnya sangat ingin
kukatakan. Tapi kau tak terlalu peka jika aku diam. Aku juga sudah menahan
berbagai hal yang kurasakan. Aku juga menjaganya dengan tak banyak bicara, tapi
aku juga perempuan yang bisa lelah. Apa aku tak berhak lelah padahal aku
menunggu, lalu kau berhak sibuk dan membiarkanku? Begitu? Aku tahu aku
mengertimu, tapi aku tahu aku juga butuh pengertianmu. Aku sudah tak tahu
bagaimana cara mengekspresikan kecewa dan kegembiraan apabila mereka datang
secara bersamaan seperti ini” Penjelasan yang cukup panjang, dengan ini aku
nyatakan, aku sangat bersalah.
“Kesibukanku dulu dan sekarang jauh berbeda,
dan sekarang aku lebih menggunakan rasa kepercayaan terhadap kita. Kalau kau
percaya aku baik-baik saja di sini, jangan kau gunakan senjata air matamu untuk
merengek. Waktuku yang tak banyak. Waktu yang sedikit ini, sering digunakan
oleh kita dengan banyaknya keributan akan hal yang sama
"ketidakpekaanku" yang terlambat. Aku yakin kau sudah cukup dewasa
akan rasa pengertian ini, kita sudah terlalu mengenal kita. lalu sekarang kau
terlalu perasa untuk curiga. Pengertian itu dari segi tindakan, apa aku merasa
dimengerti akan pekerjaan yang menyita banyak waktuku?”
“Pengertian itu dari segi tindakan, apa kau
bisa lebih dewasa akan pekerjaan yang begitu merenggut diriku darimu,
percayakah kau? Jangan pernah merasa aku tak pernah peduli denganmu, dari segi
apa aku tak pernah mengertimu? Setidaknya waktuku yang tak banyak, aku selalu
sempat mengabarimu, hanya untuk membuatmu tenang di sana. begitu kan? Kau tak
pernah menganggap aku begitu peduli denganmu, yang kau fikirkan, aku selalu
harus ada untukmu, padahal waktuku terbatas”
“Aku tak berharap aku selalu dimengertimu,
aku mengerti kerinduanmu. tapi tolong bisa kau pahami waktuku sedikit. Aku tak
pernah diam saat kau mulai kalut dengan kerinduanmu, aku selalu memikirkan
bagaimana kau diam untuk mengerti keadaan.” Malam ini kita terluka, tapi Aku tak pernah lelah memberikan
penjelasan dengannya, setidaknya ini yang membuat ia semakin mengerti dan
tenang, kalau aku tidak main-main meskipun jauh dengannya.
***
Kita
sangat paham kalau rindu itu menyiksa, kita cukup disadarkan kalau pertemuan
itu benar menyiksa, pertemuan yang sebentar namun tak sebanding dengan
penantian yang dirasakan.
Kita
pernah memilih untuk tidak melanjutkan hubungan ini atas dasar kita sudah tak
sepaham, padahal kita masih saling sayang. Namun kerinduan yang berlebihan
meracuni agar semua harus diakhiri.
Kita,
kita tak perlu susah payah untuk bertengkar hanya karena rindu. Yang kita
lakukan adalah bagaimana kita bisa membuatnya mengerti keadaan, memahami
kerinduan, dan mengajarkannya arti sabar penantian. Pertemuan yang sesaat namun
sangat berarti, membuat kita percaya kalau kebersamaan itu akan ada dan tetap
ada. Hingga waktu yang menentukan kalau kebersamaan akan berpihak pada kita
yang memilih bersabar dan saling mendo’akan kapan waktu itu akan ada, kebersaman
yang abadi.
Notes: Komentarin yaa. Titik Dua Bintang.